Kamis, 25 Juni 2009

The Marriage of Saudi Power and Wahhabi Teaching Bernard Lewis

The Marriage of Saudi Power and Wahhabi Teaching
Bernard Lewis

Biografi Bernard Lewis
Bernard Lewis (lahir 31 Mei 1916, London) adalah sejarawan Yahudi Inggris-Amerika yang menjabat sebagai Profesor Kehormatan bidang Timur Tengah di Universitas Princeton. Ia mendalami sejarah Islam serta interaksi kebudayaan Barat dan Islam. Ia dikenal karena karyanya tentang sejarah Kekhalifahan Utsmaniyah dan debat intelektualnya dengan Profesor Edward Said tentang konflik Israel-Palestina. Ia merupakan ahli di bidang Timur Tengah, dan merupakan penasihat George W. Bush dalam Perang Irak. Dalam Encyclopedia of Historians and Historical Writing, Martin Kramer, yang tesis Ph.D-dibimbing oleh Lewis, menganggap Lewis merupakan "sejarawan Islam dan Timur Tengah paling berpengaruh pasca perang. "
Selama bertahun-tahun dia adalah salah satu dari sedikit cendekiawan Eropa diizinkan untuk mengakses arsip dari Kekaisaran Ottoman di Istanbul. Selain itu studi sejarah keislaman, ia telah menerbitkan terjemahan klasik Arab, Turki, Persia dan puisi Ibrani. Professor Lewis juga banyak sekali menerbitakan berbagai macam buku diantaranya , The Arabs in History , What Went Wrong? and The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror .


Ringkasan Kandungan The Marriage of Saudi Power And Wahhabi Teaching
Muhammad ibn ’Abd al-Wahhab (1703-1792) merupakan ahli teologi dari wilayah Najd di Arabia yang menjadi pendiri ajaran Wahhabi, ajaran ini mengamapanyekan pemurnian dan keaslian ajaran islam kepada ajaran asalnya. Beliau dalam mengajarkan ajaran wahhabi didukung penuh oleh para tokoh penting yaitu sheikh-sheikh yang merupakan keturunan dari kerajaan saudi. Para shiekh itu juga mendukung pemurnian ajaran islam dengan salah satu cara membersihkan dan menghancurkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Penguasa saudi di Najd pada waktu itu merangkul faham wahhabi sebagai salah satu cara untuk menjatuhkan kerajaan ustmani. Dengan berdalih memurnikan ajaran islam mereka secara gencar melancarkan kampanye pemurnian islam di wilayah arab pusat, bagian timur, dan juga kedaerah negri-negri sabit dengan melakukan serangkaian penyerangan. Setelah menaklukan karbala sebagi kota suci kaum syiah, mereka melanjutkan expansinya ke daerah hijaz dan melanjutkan ke kota makah dan amdinah dengan dalih ingin mensucikan kedua kota itu. Akan tetapi para penguasa Ustmani tidak tinggal diam, walaupu mereka mengalami kemunduran, mereka akhirnya bersekutu dengan Pasya dari mesir untuk menumpas gerakan wahabi dan pemberontakan yang dilancarkan oleh kerajaan Saudi. Dalam kelanjutanya mereka berhasil memukul mundur kerajaan Saudi pada tahun 1818, dan penguasa saudi diasingkan dan dihukum mati di Istambul. Walaupun kerajaan Saudi pada saat itu berhenti berjalan akan tetapi ajaran dari wahhabi tetap bertahan.
Kebangkitan aliran wahhabi yang cukup signifikan pada abad 18, dikarenakan pada waktu itu ajaran ini sangat dirasakan sebagai akibat dari mundurnya peradaban Islam dan majunya umat Kristen. Wahhabi muncul seolah-olah sebagai sebuah solusi dari permasalahan-permasalahan itu. Faktor lain dikarenakan semakin terpuruknya kerajaan Utsmani di Balkan dimanfaatkan oleh kerajaan Saudi dan wahhabi sebagai salah satu upaya untuk mendongkrak kekuasaan mereka. Aliran wahhabi dalam perkembangan idiologinya sangat menentang bentuk-bentuk pembaharuan dalam Islam, mereka berpendapat bahwa Islam harus diamalkan semurni mungkin, mereka juga sangat membenci ketika ada upaya-upaya untuk menjatuhkan Islam baik itu dari kalangan luar ataupun kalangan dalam Islam sendiri. Oleh karena itu mereka sangat bertolak belakang dengan kalangan ataupun aliran didalam Islam yang lebih moderat, seperti Sunni, Syiah dan juga aliran Sufi, mereka bahkan mengharamkan dengan kemunculan tasawuf yang dipelopori oleh para Sufi. Wahhabi sangat bertolak belakang pemikiran dengan aliran-aliran tersebut bahkan muncul sebagi musuh dari aliran tersebut.
Wahhabi dalam menjalankan ajaranya didukung oleh pemerintahan kerajaan saudi dengan mewajibkan masyarakat yang ada untuk ikut dan patuh dengan segala peraturan yang ada, bisa dikatakan mereka menggunakan segala upaya dalam mensukseskan apa yang mereka percayai, seperti halnya terjadi banyak kekerasan dimana-mana, pemenggalan terhadap orang ang dipandang kafir, membongkar makam-makam, menajiskan tempat-tempat yang tidak sesuai dengan aliran mereka serta yang lebih parah lagi pembakaran terhadap banyak literatur atau buku-buku yang tidak sesuai dengan ajaran wahhabi dan biasanya disertai dengan adanya hukuman berat seperti hukuman mati bagi penganut dan pembaca buku-buku itu.
Penggabungan antara kerajaan saudi dan juga ajaran-ajaran aliran wahhabi dirasakan semakin kuat, penyatuan dari keduanya merupakan aspek yang sangat penting terhadap kemajuan dari apa yang mereka rencanakan. Hal ini bisa dilihat dari suksesnya berbagai macam perlawanan yang dipelopori oleh kerajaan saudi dan aliran wahhabi terhadap kerajaan Ustmaniah yang pada saat itu kehilangan momentumnya, sehingga dua kekuatan ini muncul sebagai kekuatan yang besar baik itu dalam hal pemerintahan ataupun dalam proses doktrinisasi aliran wahhabi itu sendiri. Disisi lain kerajaan saudi juga membangun berbagai bentuk kerjasama dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan dari dunia luar, bisa dilihat ketika mereka mengadakan kerjasama dengan Inggris pada bulan Desember 1915. Dari perjanjian ini kerajaan Saudi mendapatkan jaminan pengakuan kedaulatan dengan bentuk tunjangan dan juga bantuan manakala terjadi penyerangan.
Kerajaan Saudi melanjutkan kebiasaan kekuasaan seperti yang pernah ada pada zaman Utsmaniah yaitu dengan sistem kerajaan yang menunjuk keturunan dari raja atau putra makota untuk menjadi penerus dari kerajaan tersebut. Disisi lain perkembangan ajaran Wahhabi serta keuasaan kerajaan saudi tidak terlepas dari pada kekayaan dari sumber minyak serta hak untuk mengelola dua kota suci umat islam, yaitu Makkah dan Madinah, dari penghasilan itu mereka mampu membiayai seluruh penyebaran ajaran Islam menurut versi Wahhabi baik itu melalui penerbitan buku-buku maupun melalui propaganda-propaganda yang mengatasnamakan pemurnian agama islam. Jadi sudah selayaknya ketika wahhabi mampu muncul sebagai sebuah faham yang dapat berkembang dengan sangat cepat dan luas karena didukung dengan sumber pendanaan yang begitu kuat yaitu dari minyak dan hasil pengelolaan dua kota suci umat Islam yang setiap tahunya dkunjungi oleh berjuta-juta umat islam dari seluruh penjuru dunia dan tentu saja hal ini akan banyak mendatangkan keuntungan finansial bagi tata kelola keuangan mereka.

Analisa
Dari bab yang ke delapan tentang “The Marriage of Saudi Power And Wahhabi Teaching” kita banyak mendapatkan pemaparan-pemaparan tentang asal usul dari kerajaan Saudi dan juga ajaran aliran wahhabi. Disisi lain kita disuguhkan tentang pergolakan politik yang ternyata mempunyai perananan yang sangat signifikan terhadap perkembanagan keduanya. Dalam penjelasanya Lewis menampilkan integrasi antara kerajaan Saudi dan aliran Wahhabi muncul dengan begitu kuatnya, hal ini dilandasi dengan adanya simbiosis mutualisme antara keduanya. Kerajaan Saudi sebagai system pemerintahan dan aliran Wahhabi sebagai faham resmi dari kerajaan tersebut.
Yang perlu ditelaah lagi terlepas dari fakta-fakta yang ada, Bernard Lewis adalah seorang orientalis yang dalam berbagai tulisanya terkesan tidak objective dalam memandang islam . Bisa kita lihat dari pemaparan data yang ada, lewis membingkai kerajaan Saudi dan Wahhabi sebagai gerakan yang dalam mekanisme kemunculan serta perkembanganya mengarah seperti gerakan “teroris” yang senantiasa muncul dengan cara yang tidak humanis, dia membingkai dengan lebih banyak memunculkan aspek kekerasan dari keduanya, bahkan sejauh pengetahuan saya, aspek historis memang dikupas mendalam akan tetapi ajaran keislaman dari Wahhabi itu sendiri dimunculkan sangat sedikit. Sehingga muncul anggapan bahwa pergolakan yang ada hanya menembus kearah ranah politik dan kekuasaan semata.
Lewis dalam penjelasanya terkesan memunculkan bahwa pergolakan yang ada kepada tataran subyek pelakunya atau dalam bahasa lain lebih mengerucut kepada “siapa yang salah”, bukan mengarah pada objek “apa yang salah” dari fenomena yang terjadi, sehingga dengan tanpa sadar pembaca akan diarahkan kepada penghakiman sementara terhadap tokoh-tokoh yang ada pada waktu itu. Padahal seharusnya ketika kita selesai membaca terhadap konteks sejarah yang ada, bukan hanya persoalan apa yang terjadi dalam sejarah tersebut, akan tetapi bagaimana kita mampu belajar dari sejarah yang ada dengan mengedepankan konsep “al-mukhafadlotu ‘ala qodimi as-sholikh, wal akhdu bil jadidi aslah”.
Yang terpenting dari berbagai pemaparan diatas adalah kejelian kita sebagai pembaca untuk memahami apa yang terjadi dan bagaimana serangkaian peristiwa sejarah ini bias terjadi serta bagaimana sebagai seorang pembaca mampu besikap objective terhadap wacana-wacana yang muncul, hal ini perlu dilakukan karena mempelajari sejarah tentu saja akan memperkaya khasanah keilmuan kita, dengan syarat kita mampu bersikap dewasa dalam pemahaman dan bagaimana kita mampu mengaktualisasikan teks-teks yang ada kedalam ranah yang lebih humanis untuk dipraktikan.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar